Wednesday, January 1, 2025

Kisah Aneh di Kaki Pelangi

Posted by usoPkuChai On 11:39 PM


 

Setiap kali hujan reda di Desa Langit Senja, pelangi besar melengkung di atas sawah padi, memancar terang seperti jambatan ke langit. Penduduk desa percaya, di kaki pelangi itu terdapat makhluk halus yang menjaga harta karun tersembunyi. Namun, tidak ada sesiapa yang berani mendekatinya. "Itu bukan urusan kita," kata mereka sambil menyeka peluh di dahi. "Cukup kita nikmati keindahannya dari jauh."

Namun, bagi Nisa, anak yatim yang tinggal di hujung desa, pelangi itu lebih daripada sekadar keajaiban alam. Ia adalah misteri yang menunggu untuk disingkap. Pada ulang tahun ke-12nya, ketika pelangi muncul lagi, Nisa memutuskan untuk mengikut naluri ingin tahunya. Dia mengikat sapu tangan merah ke rambutnya, membawa sebilah pisau kecil, dan berjalan menuju ke arah kaki pelangi.

Jalan ke sana penuh dengan duri dan lumpur. Pelangi seolah-olah bermain dengan Nisa, bergeser setiap kali dia hampir sampai. Tetapi dia tidak menyerah. Dengan kaki penuh lecet, akhirnya dia sampai di tempat di mana warna-warna pelangi mendarat di bumi. Yang dia temui adalah sesuatu yang tidak dijangka.

Di bawah cahaya pelangi itu, berdiri sebuah pondok kayu kecil yang hampir tenggelam oleh pokok-pokok merimbun. Pintu pondok itu terbuat daripada kayu cengal yang berkilau seperti perak. Di hadapannya duduk seorang lelaki tua berjanggut putih, mengenakan jubah lusuh yang warnanya berubah-ubah seperti pelangi itu sendiri.

"Sudah lama aku menunggu," kata lelaki itu, suaranya lemah tetapi jelas.

"Menunggu siapa?" tanya Nisa, kebingungan tetapi tidak takut.

"Menunggu sesiapa yang cukup berani untuk mencari kaki pelangi," jawab lelaki itu sambil tersenyum. "Masuklah, aku ada sesuatu untukmu."

Nisa ragu-ragu, tetapi rasa ingin tahu menguasainya. Dia melangkah masuk ke dalam pondok, dan matanya terbeliak. Pondok itu jauh lebih besar di dalam. Rak-rak kayu tinggi memenuhi dinding, sarat dengan balang kaca berisi benda-benda aneh: bulu burung berwarna emas, kristal berkilau, dan kelopak bunga yang seolah-olah masih segar walaupun terkurung dalam kaca.

Di tengah-tengah pondok, sebuah meja besar menampung sebuah cermin bundar. Permukaannya tidak memantulkan apa-apa, tetapi seakan-akan dipenuhi kabus yang bergerak perlahan.

"Ini hadiah untukmu," kata lelaki tua itu sambil menunjuk ke arah cermin.

"Cermin ini?" Nisa bertanya. "Apa gunanya?"

"Ia adalah cermin yang akan menunjukkan jalan," jawab lelaki itu. "Tetapi hanya jika kau tahu ke mana kau mahu pergi."

Nisa mengerutkan dahi. "Aku tidak faham."

Lelaki tua itu hanya tersenyum. "Cermin ini tidak menunjukkan apa yang kau mahu, tetapi apa yang kau perlu."

Ketika Nisa menyentuh cermin itu, kabus di permukaannya berputar lebih cepat. Seketika, dia melihat gambaran seseorang, tersenyum di bawah pohon besar di tepi sungai. Tetapi sungai itu tidak seperti mana-mana sungai yang pernah dia lihat. Airnya bersinar seperti perak, dan di atasnya melayang-layang daun emas.

"Di mana ini?" tanya Nisa, suara bergetar.

"Itu adalah Sungai Kenangan," kata lelaki tua itu. "Hanya mereka yang berani melupakan ketakutan dan mengejar kebenaran akan sampai ke sana. Kau akan menemui jawapan tentang siapa dirimu di tempat itu."

Sebelum Nisa sempat bertanya lebih lanjut, lelaki tua itu hilang, bersama pondok dan cermin. Dia mendapati dirinya kembali di tengah sawah, tetapi sesuatu telah berubah. Di tangannya ada sebuah daun emas, seperti yang dilihat dalam cermin. Pelangi di atasnya semakin pudar, tetapi Nisa kini tahu ke mana dia harus pergi.

Dia akan mencari Sungai Kenangan, walau apa pun rintangannya. Di sanalah, dia yakin, semua persoalan tentang dirinya dan masa lalunya akan terjawab.

Dan mungkin, akhirnya, dia akan menemui keajaiban yang lebih besar daripada pelangi itu sendiri.


---------------------------


Malam itu, Nisa duduk di tepi pelita di rumahnya yang kecil, memegang daun emas dengan penuh hati-hati. Dia memutuskan untuk memulakan perjalanan keesokan harinya. Namun, sepanjang malam, dia tidak dapat tidur. Dalam gelap, suara-suara lembut bergema di telinganya, seperti angin yang berbisik.

"Berhati-hati, Nisa," kata suara itu. "Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jawapan, tetapi juga tentang melepaskan apa yang kau sayangi."

Pagi berikutnya, Nisa bersiap-siap dengan bekal yang sederhana: beberapa ketul nasi, sedikit air, dan sapu tangan merahnya. Dia berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gambaran dalam cermin. Langit pagi itu berwarna kelabu, dan angin dingin menyelimuti tubuhnya.

Perjalanannya membawanya melalui hutan tebal yang tidak pernah dia lalui sebelumnya. Di dalam hutan itu, dia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh: seekor burung yang bulunya bercahaya seperti api, rusa yang matanya seperti kristal, dan ular berwarna perak yang berbicara dalam bahasa yang tidak dia fahami. Tetapi makhluk-makhluk ini tidak mengganggunya. Sebaliknya, mereka hanya memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ketika malam tiba, Nisa mendapati dirinya di tepi sungai kecil. Air sungai itu dingin dan jernih, memantulkan cahaya bulan yang pucat. Dia merasa letih, tetapi hatinya dipenuhi harapan. Ketika dia membasuh wajahnya di sungai itu, bayangan ibunya muncul di permukaan air.

"Nisa," suara ibunya berkata, lembut seperti pelukan. "Jangan takut. Semua jawapan yang kau cari ada di hadapanmu. Tetapi ingat, kebenaran tidak selalu seperti yang kau harapkan."

Air mata mengalir di pipi Nisa. "Ibu, tunggu! Jangan pergi lagi!"

Bayangan itu lenyap, tetapi sungai di hadapannya mulai berubah. Airnya memancarkan cahaya, dan perlahan-lahan, ia mengalir ke arah yang tidak semula jadi, seperti membawa Nisa ke tempat yang telah lama tersembunyi. Dengan keberanian yang diperolehnya, Nisa mengikuti sungai itu, melangkah ke dalam dunia yang penuh keajaiban dan misteri.

Setiap langkah membawa dia lebih dekat kepada Sungai Kenangan, tetapi juga kepada ujian yang akan menguji hatinya. Di hujung perjalanan ini, Nisa tahu, ada sesuatu yang lebih besar daripada jawapan tentang dirinya. Ada takdir yang menantinya.


-----------------------------------------------


Di sepanjang sungai yang bercahaya, Nisa mula menyedari bahawa dia tidak sendiri. Bayangan samar-samar muncul di permukaan air, mengintainya dengan penuh perhatian. Ketika dia melangkah lebih jauh, suara angin berbisik menjadi lebih jelas, membawa pesan-pesan samar yang membuat bulu romanya meremang.


Nisa melanjutkan perjalanan, tetapi perasaan kehilangan menghantuinya. "Apakah aku sudah membuat keputusan yang betul?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Kemudian, dia tiba di sebuah dataran luas yang ditutupi oleh kabus tebal. Di sana, suara-suara berbisik mulai berubah menjadi gema kuat, seperti ratusan orang bercakap serentak. Dari kabus itu, muncul bayangan dirinya—tetapi lebih tua, lebih letih, dan matanya penuh kesedihan.

"Siapa kau?" tanya Nisa dengan suara serak.

"Aku adalah dirimu, jika kau memilih jalan tanpa keberanian," jawab bayangan itu. "Setiap keraguan, setiap ketakutan yang kau simpan, akan mengubahmu menjadi aku. Jika kau ingin bebas, lepaskan rasa takutmu dan teruskan perjalananmu dengan hati yang teguh."


Nisa menutup matanya, mengingat kembali senyuman ibunya dan suara tenang lelaki tua di pondok kaki pelangi. "Aku telah memulakan perjalanan ini bukan untuk berpatah balik," bisiknya. Dengan keberanian yang timbul semula, dia melangkah ke depan, melewati bayangan dirinya. Bayangan itu memudar, bersama gema yang memenuhi kabus.

Di hadapan, kabus mulai tersingkap, memperlihatkan sebuah jambatan batu yang melintasi Sungai Kenangan. Air sungai itu kini bersinar dengan intensiti yang menyilaukan, seolah-olah menyimpan ribuan bintang. Di seberang jambatan, sebuah pohon raksasa menjulang, daun-daunnya berkilauan seperti zamrud. Di bawah pohon itu berdiri seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya samar namun penuh kehangatan.

"Nisa," panggil wanita itu. Suaranya mengalir lembut seperti sungai, menyentuh jiwa Nisa.

"Siapa kau?" tanya Nisa sambil melangkah ke arah jambatan.

"Aku adalah penjaga jawapan yang kau cari. Tetapi untuk melangkah lebih dekat, kau harus melewati jambatan ini. Hanya mereka yang telah melepaskan beban hati dapat menyeberang."

Nisa memandang ke bawah, ke dalam air sungai yang memantulkan kenangan masa lalunya. Dia melihat dirinya yang kecil, bermain di bawah pohon bersama ibunya; malam-malam penuh air mata sejak kehilangan ibunya; dan saat-saat dia merasa terpinggir di desa. Semua beban, rasa takut, dan kesepiannya terasa seperti batu besar di dadanya.

"Apa yang perlu aku lakukan?" tanya Nisa, suaranya hampir patah.

"Lepaskan," jawab wanita itu. "Ampunkan dirimu sendiri dan mereka yang telah menyakitimu. Perjalanan ini bukan tentang apa yang kau temui, tetapi tentang siapa yang kau pilih untuk menjadi."

Nisa menghela nafas panjang. Perlahan-lahan, dia membiarkan kenangan-kenangan itu mengalir bersamanya. Air matanya tumpah, tetapi bersama air mata itu, dia merasakan beban yang selama ini menyesakkan mulai hilang. Dia memejamkan mata, dan ketika membukanya kembali, air sungai di bawahnya menjadi jernih.

Dia melangkah ke atas jambatan. Setiap langkah terasa ringan, seolah-olah dia telah meninggalkan semua beban di tepi sungai. Ketika dia tiba di seberang, wanita berpakaian putih menyambutnya dengan senyuman.

"Kau telah lulus ujian ini, Nisa," kata wanita itu. "Tetapi perjalananmu belum selesai. Pohon ini menyimpan kisah keluargamu, dan kebenaran yang kau cari. Namun, kebenaran itu adalah pedang bermata dua. Bersediakah kau menerimanya?"

Nisa mengangguk, meskipun hatinya berdegup kencang. Wanita itu menyentuh dahan pohon, dan daun-daunnya mulai bergetar. Dari celah dedaunan, muncullah gambaran tentang seorang wanita muda—ibunya. Nisa melihat ibunya berdiri di tempat yang sama, bertahun-tahun lalu, menghadap pohon itu sambil menggenggam daun emas yang sama seperti yang pernah dimilikinya.

Ibunya berbicara dengan pohon, suaranya tidak dapat didengar, tetapi air matanya mengalir deras. Pohon itu kemudian memberikannya sesuatu—sebuah kunci kecil yang bercahaya seperti cahaya bintang. Ketika gambaran itu memudar, wanita berpakaian putih itu menyerahkan kunci yang sama kepada Nisa.

"Kunci ini adalah jawapan kepada siapa dirimu dan tujuanmu," kata wanita itu. "Gunakanlah ia untuk membuka pintu masa depanmu, tetapi ingat, setiap kebenaran membawa tanggungjawab."

Nisa menerima kunci itu dengan tangan gemetar. Hatinya penuh dengan campuran rasa takut dan harapan. Dia belum tahu ke mana kunci itu akan membawanya, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa siap untuk menghadapi apa saja.

Di belakangnya, pohon dan jambatan perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh jalan setapak yang menuju ke ufuk baru. Langit kini dipenuhi dengan warna-warni seperti pelangi, dan angin membawa bisikan yang hangat.

Perjalanan Nisa belum berakhir, tetapi dia tahu, dia tidak lagi anak kecil yang takut kepada dunia. Dia adalah seorang penjelajah, seorang pencari kebenaran, dan seorang yang telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.


Mortua : Inceptum

Posted by usoPkuChai On 8:33 AM




Di bawah langit yang seolah melupakan cahaya, Ysakarath berdiri seperti sebuah rahsia yang dikisahkan di antara bisikan angin. Tanah ini tersembunyi dari dunia, terlindungi oleh hutan-hutan lebat yang penuh dengan bayang-bayang dan pegunungan yang menjulang seperti penjaga tanpa nama. Tetapi seperti semua rahsia, Ysakarath memiliki harga yang harus dibayar oleh mereka yang berani mendekatinya.

 

Mortua dilahirkan di tanah ini, seorang anak yang mewarisi kutukan dan berkat yang tidak diminta. Klan Umbra Noctis adalah penari di tepian jurang, ahli dalam seni yang melangkahi batas-batas dunia. Namun, di mata Gereja Sancti Bellatoris, mereka adalah penistaan yang harus dihancurkan. Para ksatria Sol Niger, pemburu dengan semboyan "Lux in Tenebris, Puritas in Sanguine", telah mengejar klan itu selama bergenerasi, hingga mereka menemukan perlindungan terakhir mereka, di jantung Ysakarath.

 

Tetapi perlindungan adalah janji yang rapuh, dan fanatisme selalu menemukan jalannya. 


Magnus Cruor, dengan mata yang menyala oleh keyakinan yang tak tergoyahkan, membawa Sol Niger ke gerbang Ysakarath. Mereka menyerbu seperti badai yang dilepaskan, membawa api dan kehancuran. Desa-desa yang sunyi berubah menjadi lautan jeritan. Rumah-rumah hancur dalam kobaran api, dan penduduk yang tak bersalah dijadikan persembahan kepada keimanan mereka.

 

Mortua dan Lysara Kaelith, dua jiwa yang berpegangan pada satu sama lain di tengah kehancuran, berlari di antara bayang-bayang. Di sekitar mereka, dunia yang mereka kenal sudah runtuh.

 

“Mortua,” kata Lysara, suaranya seperti embun yang membeku, “kita tidak akan selamat.”

 

“Kita akan bertahan,” jawab Mortua, meskipun ia tahu kata-katanya kosong. “Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi.”

 

Namun, janji-janji seperti itu adalah ilusi dalam dunia yang dibakar oleh api.

 

Di pinggir desa, mereka menemukan perlindungan dalam gua kuno yang dindingnya dipenuhi ukiran yang terasa lebih tua daripada waktu itu sendiri. Udara di dalam gua berat, penuh dengan bau lumut dan sesuatu yang tak terlihat—seperti mata yang mengintai dari sudut kegelapan. Mortua terbaring lemah, napasnya dangkal, dan darah mengalir dari luka-lukanya.

 

Lysara tahu dia akan kehilangannya. Tetapi di tangannya, ia memegang kitab kuno yang dicuri dari klan mereka bertahun-tahun lalu, Altra Nos—ritual necromansi yang dijelaskan dengan bahasa yang seolah-olah hidup dan berbisik saat dibaca.

 

“Jangan lakukan ini,” bisik Mortua, matanya mencari mata Lysara. “Kegelapan ini... bukan milik kita.”

 

“Tetapi hidupmu adalah milikku,” jawab Lysara, air mata mengalir di wajahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

 

Lingkaran darah dilukis di lantai gua, bersinar dengan cahaya yang tampaknya bernafas. Ketika Lysara dengan jubah hitamnya yang berkibar di tengah angin malam, berdiri di tengah lingkaran sihir yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno, melafazkan mantra, dinding-dinding gua bergetar, dan bayangan mulai bergerak, bukan karena lilin-lilin yang menyala dengan api biru memancarkan cahaya yang menyeramkan, tetapi karena sesuatu yang lain. Udara dipenuhi suara-suara—bisikan, tangisan, dan tawa samar yang mengacaukan fikiran. Lysara terus mengucapkan mantera dengan suara yang penuh kekuatan, memanggil roh-roh dari dunia lain untuk menghidupkan kembali Mortua.

 

Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ketika Lysara mengucapkan kata-kata terakhir dari manteranya, angin kencang tiba-tiba berhembus, memadamkan lilin-lilin dan mengacaukan lingkaran sihir. Roh-roh yang dipanggil oleh Lysara menjadi liar, menyerang segala sesuatu di sekeliling mereka. Lysara, yang terkejut dan tidak bersedia, kehilangan kendali atas ritual itu. Tubuh Mortua terangkat di udara, dan ketika mantera terhenti, lingkaran berubah. Cahaya merah menjadi hitam, dan bayangan kelam menelan semuanya.

 

Roh-roh yang marah merasuk ke dalam tubuh Mortua, mengubahnya menjadi makhluk yang hanya berisi penderitaan. Mata Mortua terbuka, tetapi tidak ada lagi manusia di dalamnya. Ritual itu telah mengubahnya menjadi Mortua yang setengah hidup dan setengah mati—sebuah entiti yang diciptakan dari cinta dan keputusasaan.

 

Ketika Magnus Cruor dan pasukannya menemukan Mortua, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar manusia. Mortua telah menjadi Mortua Primus, penguasa kematian. Dari bayang-bayang, Lysara juga bangkit, tubuhnya hidup dengan cara yang menentang alam. Di belakang mereka, mayat-mayat klan Umbra Noctis mulai bergerak, membentuk pasukan yang tidak akan mampu dihentikan.

 

Para ksatria Sol Niger menyerang, tetapi setiap yang jatuh bangkit kembali sebagai sebahagian dari gerombolan Mortua. Dunia mulai menyaksikan kejatuhannya sendiri. Desa-desa dan kota-kota menyerah satu per satu, tertelan oleh gelombang mayat hidup yang terus bertambah.

 

Di atas reruntuhan dunia yang pernah dia cintai, Mortua Primus berdiri. Angin malam membawa suara bisikan dari roh-roh yang hilang, dan langit di atasnya tampak seperti cermin retak. Ia memandang cakrawala, matanya kosong, seperti lubang tanpa dasar yang menelan semua harapan.

 

Di sisinya, Lysara, kini menjadi bayang-bayang dirinya yang dulu, berdiri diam, tangannya memegang tangan Mortua. Bersama-sama, mereka menjadi saksi abadi dari apa yang telah hilang.

 

Inceptum finemque mundi,” gumam Mortua, suaranya seperti angin yang melewati gua kosong. Ia berjalan ke depan, setiap langkahnya adalah gema keheningan. Dunia telah berhenti bernyanyi, dan Mortua adalah nadanya yang terakhir.


Tuesday, December 24, 2024

Selamat Datang ke Rahsia Keluarga

Posted by usoPkuChai On 1:55 AM

 

 

Hujan membadai, membenturkan diri ke jendela loteng dengan penuh emosi. Setiap titisnya umpama irama gendang kecil yang tidak berhenti-henti memalu kaca tingkap. Partikel debu menari dalam jalur cahaya bulan yang menembus kegelapan, menerangi sarang labah-labah yang terjumbai di antara perabutan yang diterlupakan - almari lama, kenangan yang memudar, dan bayangan masa lalu yang tertinggal.

 

Gigil tubuhku - lebih dari sekadar dingin - merayap ke saraf tunjangku. Bukan kerana cuaca, bukan itu penyebabnya. Ada rasa gementar datang dari kesunyian, sebuah entiti hidup, yang berdenyut dalam frekuensi rendah yang sangat mengganggu. Udara menjadi semakin sesak, pekat dengan bau busuk yang memualkan, dari sejarah yang telah dilupakan. Dan ada sesuatu yang lain - sesuatu yang kuno dan tidak terlihat.

 

Aku duduk di tepi peti tua itu, selimut kulitnya retak dan rapuh, bau debu pertualangannya menempel seolah lapisan kulit keduanya. Di dalamnya, barang-barang peninggalan atukku: barangan perak yang telah lusuh, jurnal kulit yang sudah usang, dan segugus batu aneh. Dia menyebutnya "delima angkasa", berkeras mengatakan bahawa batu-batu itu menyimpan esensi dari bintang yang jatuh - setiap batu menyimpan secebis nafas rahsia alam semesta.

 

Atukku — seorang pria yang hidup dalam bisikan dan bayangan — mengisi penuh masa kecilku dengan kisah-kisah keajaiban yang menakjubkan. Tentang pohon beringin yang berbisik, dengan mata yang memerhatikan segala rahsia. Tentang makhluk-makhluk yang bersembunyi dalam kegelapan, menunggu. Tentang rahsia yang tersirat di celahan realiti, rahsia yang aku diajarkan untuk melihatnya. Dia mahu aku melihat dunia ini bukan seperti yang tampak di mata, tetapi wujud hakikinya: sebuah kisah yang ditenun dengan benang-benang magis dan misteri, sebuah panggung tempat kuasa-kuasa ghaib memainkan drama runyam mereka.

 

Sudah setahun atuk meninggal, mewariskan kekosongan yang tidak pernah dapat diisi oleh sinar matahari yang mencerobohi lantai melalui jendela kaca. Villa ini, yang pernah menjadi santuari kehangatan dan canda tawa, kini terasa seperti pusara - sebuah monumen untuk kehidupan yang telah lenyap. Setiap derit lantai, setiap desiran daun yang menyapa jendela, mengirimkan getaran gelisah ke dalam diriku. Apakah itu angin? Atau sesuatu yang lain? Sesuatu yang sedang memerhatikan dari dalam kegelapan.?

 

Tiba-tiba, sebuah dengungan bernada rendah bergetar melintasi udara, seolah berasal dari sakaguru villa ini sendiri. Semakin bergema, semakin menekan, hingga terasa seperti denyutan jantung villa ini, denyut yang bukan milikku. Dan secepat ia datang, secepat itu pula ia hilang.

 

Perasaan curiga — gementar dan bimbang — menyelimuti diriku. Aku meraih jurnal itu, kulitnya yang dingin dan licin terasa di tanganku. Aku membukanya, dan sebuah kata tunggal, yang ditulis dengan tulisan tangan atukku yang elegan, mengunci pandanganku: "Waspadalah terhadap bisikan."

 

Udara semakin dingin, kesunyian semakin dalam. Bisikan itu. Ya, bisikan itu. Bisikan yang telah menghantui mimpiku sejak kematian atuk. Bisikan yang tampaknya berasal dari celah-celah realiti itu sendiri, berbisik tentang rahsia - rahsia yang seharusnya tidak kudengar. Rahsia yang memunculkankan kegerunan primer dalam diriku, ketakutan yang melampaui akal sihat, ketakutan yang berbicara tentang kejahatan kuno dan dewa-dewa yang terlupakan.

 

Kemudian, aku melihatnya.

 

Sebuah kilauan samar di sudut ruangan, bergerak—seperti seberkas cahaya yang merayap di lantai, semakin terang, dan semakin gamblang. Ruangan itu disinari dengan cahaya aneh yang mempesona. Dan dalam cahaya itu, aku melihatnya.

 

Atuk.

 

Matanya bercahaya dengan sinar yang tidak alami, menatapku dari sudut ruangan. Senyum dingin, mengulum rahsia, tergambar di bibirnya.

 

"Selamat datang," bisiknya, suaranya terasa berasal dari kedalaman bumi itu sendiri.

 

 "Selamat datang… ke rahsia keluarga."

 


 


Saturday, December 21, 2024

Menjejak Bintang di penghujung Dunia

Posted by usoPkuChai On 2:02 PM

 


Ia adalah tempat yang sentiasa menjadi kegemaranku di suatu masa dahulu. Papa hampir tidak pernah gagal untuk membawaku ke sana pada setiap malam minggu. Hanya kami berdua. Kami duduk bersama di pinggir tebing terakhir dunia menikmati lautan bintang yang tidak bertepi hingga matahari datang lagi menyempurnakan kitarannya.

 

“Kau tahu kenapa ini penghujung dunia?” papa menatap langit dengan senyuman kecil.

 

Aku melihat sekeliling sambil menggeleng kepala. Hanya ada kelam menyelimuti malam. Cuma ada dingin memeluk suasana. Dan sunyi yang membisu.

 

Papa tertawa lembut seperti bunyi angin malam, “Kerana di sini, dunia yang kita kenal berakhir. Tidak ada jalan pulang. Tidak ada manusia, tidak ada bunyi kota, tidak ada beban kehidupan. Yang tinggal cuma kita, bintang-bintang, dan keheningan yang berbicara. Ini adalah tempat di mana segalanya menjadi mungkin. Di sini, dunia yang kau kenal berhenti, dan cerita baru boleh dimulakan.”

 

“Tapi, papa, kalau aku ceritakan tempat ini kepada orang lain, tidak ada yang akan percaya.”

 

Papa menoleh kepadaku yang mengenyitkan dahi kebingungan. Matanya bersinar dengan senyuman penuh misteri.

 

“Kebenaran bukan sesuatu yang perlu dipercayai oleh semua orang untuk menjadi nyata. Hujung dunia ini adalah rahsia langit dan bumi. Rahsia hanya untuk mereka yang berani mencarinya.”

 

“Sempadan antara mimpi dan realiti?” aku mencuba menitip nuansaku sendiri.

 

“Hanya di sini, kau boleh mendengar suara alam semesta,” mata kami kembali Bersama-sama menjejak bintang-bintang di langit.

 

Sepanjang hidupnya, papa sentiasa mempunyai pemikiran sendiri yang non-ortodoks dan tidak jarang kedengaran absud di telinga umum. Kata papa, mereka belum faham kerana didogma dengan berita palsu yang terlampau banyak. Atas alasan itulah tindakan dan pemikiran papa sentiasa menongkah arus perdana. Devian dan anti-establishment tempelak mereka.

 

Papa tidak pernah merasa terganggu dengan semua label masyarakat. Katanya, “Semua pemikir agung itu dianggap gila pada zaman mereka. Selagi kita tahu apa, mengapa dan bagaimana, yang lain tidak penting. Kebenaran tetap kebenaran walaupun hanya seorang sahaja yang menyedarinya.”

 

Jika tidak kerana papa selalu membawaku ke sana, aku juga akan seperti orang-orang ‘normal’ yang lain yang tidak akan mempercayainya. Tempat kami duduk itu merupakan tempat yang paling papa sukai. Dari kedudukan itu kami dapat melihat dengan jelas semua bintang-bintang yang bertaburan berlantaikan langit hitam pekat yang tanpa sekelumit awan pun.

 

Papa suka menunjukkan kepada aku bintang kegemarannya, Shi’ra atau lebih popular dengan nama Sirius, yang merupakan bintang paling terang. Lebih terang dari Polaris si bintang utara yang sentiasa tetap di posisi yang sama di langit.

 

“Sirius itu dua kali lebih besar dan terang dari matahari. Orang Yunani menamakannya Sirius yang bermaksud sangat panas. Jadi jangan terlalu serius anakku, nanti kau akan memanas dan terbakar. Haha!” canda papa dan kami tertawa bersama.

 

Setiap kali kami ke sana, sambil berbaring beralaskan rerumputan, papa akan menganyam berbagai kisah mitos -  tentang dewa yang berlari di antara bintang-bintang, perihal wira yang kental dalam pertempuran kosmik dan balada cinta kayangan yang dibadai derita rindu -  mengenai setiap konstelasi bintang yang dilukiskannya dengan jari untuk menunjukkan pola yang diwujudkan oleh gugusan bintang. Tidak jarang lukisan jari papa akan hidup dan bergerak-gerak seiring dengan naratif papa yang saling mengaitkan kisah setiap satu buruj bintang.

 

“Langit itu umpama kanvas kosong dan bintang-bintang itu adalah titik warna yang mewarnai kegelapan. Yang menjadikan ianya sebuah lukisan adalah imaginasi dan kreativiti kita. Setiap kebudayaan di dunia mempunyai lukisan dan kisah mereka sendiri di bintang-bintang itu. Ikan kembar yang dilihat oleh orang Rom dari atas gunung tidak sama dengan ikan berkembar menurut orang Arab yang di tengah padang pasir, dan begitu juga kelainan dari sisi pandang orang Cina di tengah lautan.”

 

“Kalau begitu kita juga boleh membuat rasi kita sendiri, kan papa?”

 

“Benar anakku. Jiwa yang bebas dapat meneroka fikiran mereka sendiri. Bukan hanya sekadar pak turut. Kita yang patut mencorakkan kepercayaan kita dan kisah kita sendiri. Seperti bintang-bintang itu yang memang sudah tetap kedudukannya tetapi manusia yang memberikan nama dan jiwa pada nama tersebut. Dunia ini adalah milik mereka yang berani bermimpi. Jadilah orang yang berani, ciptakanlah kisahmu, dan warnai langitmu sendiri”

 

Kadang kala kami lebih lama hanya berdiam diri menengadah ke langit menyelami keluasan alam yang gelap dan sepi, merasakan kekerdilan sebagai makhluk. Betapa jika bintang-bintang itu hanya umpama butir pasir di pantai, maka sehebat apakah kita ini sebagai batang tubuh manusia berbanding alam semesta ini.

 

Malam itu aku mengunjungi hujung dunia itu lagi. Kali ini bersendirian. Papa sudah tidak sesihat sepuluh tahun dulu. Doktor sudah berkali-kali menasihatkan dia untuk duduk berehat dan tidak lagi berembun mengkaji langit di waktu malam. Papa kini lebih banyak menghabiskan masanya dengan menulis dan membuat konten sosial media, walaupun dia sedikit khuatir kerana katanya generasi muda lebih suka mendengar kisah mitos daripada ilmiah yang cuba disampaikannya hinggakan dia terpaksa memitoskan banyak fakta supaya sekurang-kurangnya dapat diambil ibrah dan iktibar dari kisah-kisah tersebut.

 

“Kalau papa mati nanti, papa akan jadi bintang?”

 

Papa menggenggam tangan kecilku ketika itu, “Mungkin, atau mungkin sekadar jadi debu bintang yang akan bertebaran ke seluruh kosmos, selamanya menjadi sebahagian dari alam semesta.”

 

Ada tahi bintang meluncur membelah atmosfera dengan jalur cahaya terang akibat kepanasan yang disebabkan oleh tekanan dan geseran udara di angkasa. Aku cuba menjengok lebih dalam apa agaknya yang ada dalam kelam langit di sebalik bintang-bintang itu. Sungguh lebih banyak gelap dari terang, namun dalam setiap kegelapan itu pula masih tetap akan wujud bintang-bintang lain yang mengeluarkan cahaya mahupun membalikkan cahaya dari bintang yang lain.

 

“Jangan takut kepada kegelapan yang sememangnya luas dan penuh rahsia. Ia hanya ruang yang menunggu untuk diterangi dan diceritakan.”

 

Terlalu luas alam semesta ini untuk diterokai. Setiap kali aku cuba untuk melihat cakrawala lebih jauh dalam kegelapan jumantara, sentiasa aku akan dapat melihat setitik cahaya. Mungkin ada kehidupan lain di sana. Mungkin juga ada aku di penghujung dunia sebelah sana memandang ke langitnya, mencari kisah yang sama. Cuma kalau hujung dunia ini sahaja pun orang tidak percaya bagaimana mahu membenarkan wujud hidup di dirgantara sebelah sana. Aku sendiri pun pernah untuk tidak mempercayainya.  

 

“Aku tidak akan mempercayainya jika aku tidak melihatnya sendiri,” aku pernah cuba berlogik sambil berusaha untuk tidak berlaku kurang sopan ketika pertama kali aku memaksa papa untuk mengajakku ke hujung dunia ini. Namun papa hanya tersenyum sambil membelai kepalaku.

 

“Bukan begitu anakku. Kau harus percaya sebelum dapat melihatnya.”

 



Lingkaran Dendam

Posted by usoPkuChai On 6:09 AM


Ramai orang mendambakan keabadian, apalagi ketika hidup sedang berada dipuncak kegemilangan. Bagi aku, hidup abadi itu bukan nikmat, tetapi kutukan yang menyeksakan.

 

“Aku takkan lepaskan kau, sial! Dulu kau sembelih bapa aku di depan mataku. Kali ini aku akan hadiahkan trauma yang sama untuk anak kau!” Daman menggeram dengan mata mengkilat dendam, sambil memainkan kelewang di leher bapa angkatnya, Nadim.

 

Nadim tidak merasa gentar sama sekali. Dia tahu benar itu sudah karmanya. Cuma dia tidak tahu bagaimana mahu menghentikan lingkaran dendam ini. Setelah kematian Suram, Daman dijaganya seperti menatang minyak yang penuh, melebihi kasih kepada anaknya sendiri, Malim. Segala ilmu yang diketahuinya diperturunkan kepada Daman. Namun ternyata segala yang dilakukannya terhadap Daman selama berbelas tahun tetap tidak dapat melindapkan api dendam dalam jiwanya. Kini hampir pasti sekam amarah pula dinyalakan dalam hati Malim.

 

“Hentikan semua ini Daman. Kau hanya akan membunuh dirimu sendiri,” Nadim cuba menenangkan hati Daman.

 

“Kau sungguh tidak mengenang budi!” Malim meronta mahu melepaskan diri dari ikatan.

 

“Ahhh! Apa kau ingat dengan menjaga aku selama ini dia sudah dapat menebus dosa dia! Hutang dia sudah lunas? Dan aku pula yang berhutang budi dengan dia?!” Daman menjegilkan matanya kepada Malim sambil mengetuk-ngetuk kepala Nadim dengan kelewang tinggalan bapanya.

 

“Hutang orang tua ini tidak akan tuntas selagi bukan aku yang mencabut nyawanya,”

 

Celaka kau Daman!” Malim tahu benar yang dia tidak mempu berbuat apa-apa..

 

“Aku juga dulu seperti kau Malim. Tidak berdaya. Orang tua ini tak peduli pun pada rayuan dan tangisan aku. Jadi sebelum kau kata aku kejam, ketahuilah apa yang aku buat ini sama seperti apa yang orang tua ni buat dulu,” berdekah ketawa Daman, sinis.

 

“Daman, apa yang kau buat ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kau sama sekali tidak akan dapat membalas apa dendam sekali pun,” Nadim cuba menjelaskan sesuatu.

 

“Kau diam orang tua! Bertahun aku mengimpikan saat ini. Ayah aku mesti bangga dengan aku,” Daman ketawa dengan penuh kemenangan..

 

“Ayah kau tidak akan setuju dengan apa yang kau buat ini,” sejurus menghabiskan ayat tersebut tumbukan padu Daman menyinggah ke pipi kiri Nadim menghempas mukanya ke bumi.

 

“Kalau kau bercakap lagi, anak kau pun aku akan sembelih sekali,” Malim menjerit ketika Daman menodong kelewang ke mukanya.

 

“Aku tidak akan mati Daman. Aku ini ayah kau!”

 

Daman menendang Nadim berkali-kali sambil berteriak, “Diam! Diam!”

 

Setelah puas menyiksa Nadim, Daman menjambak rambut Nadim dan menggorok lehernya, membiarkan darah membuak-buak keluar dengan hati yang puas. Malim sudah terpengsan melihat ayahnya disembelih hidup-hidup di depannya.

 

Sesuatu yang aneh berlaku dirasakan oleh Daman. Pandangan menjadi berbinar-binar dan kabur. Terasa kesakitan yang amat sangat dilehernya. Dia cuba menyeka matanya yang pedih tetapi terasa tangannya terikat kuat. Satu tangan menyapu matanya dan yang terakhir dia terlihat ialah tangan itu adalah tangan seseorang yang persisi seperti dirinya, dan setelah itu gelap dan hitam.

 

Daman duduk tersandar memangku mayat Nadim sambil menangis. Dilepaskannya mayat Nadim dan mendekati Malim lalu menguraikan ikatan Malim. Malim mulai tersedar dan menjadi hilang waras melihat mayat bapanya yang berlumuran darah. Malim mulai hilang kawalan, merambat kelawang dan merembas sosok yang berlumuran dengan darah bapanya sambil menjerit histeris.

 

Seketika pula Malim merasakan tubuhnya dicincang-cincang dengan kesakitan yang amat sangat. Malim tergeletak seperti kehilangan nyawa. Dia merangkak mendekati mayat bapanya. Terlihat dalam kabur pandangannya sesosok tubuh yang tak ubah seperti dirinya duduk melutut sambil menangis.

 

Entah sampai bila lagi aku harus menanggung putaran dendam ini. Tamam, Nadim, Daman, dan entah siapa lagi selepas ini. Sudah berkali-kali aku mati dan hidup semula. Kenapa aku mesti terus hidup. Kenapa aku tidak mati saja. Sampai bila aku harus hidup dalam neraka ini.

 

“Malim! Malim! Apa yang dah jadi ni?,” sosok isteri Nadim, sahabat baikku suatu ketika dulu, yang kini akan terpaksa aku hidupi sebagai ibu memelukku sambil menangis.

Friday, December 20, 2024

Chapter 4 : Fractured Shadows

Posted by altaf alzam On 10:09 PM

 


+***

The Council of Ra convened once more, their sanctum a cold labyrinth of shadow and secrecy. The air in the chamber was heavy with unease, the usual whispers replaced by open arguments. The once-unified Council had splintered, fear and doubt clawing at their ranks like a feral beast.


The Smeller sat at the head of the table, cloaked in their customary black robes. The carved obsidian mask they wore hid their face, but their presence alone demanded attention. Around them, twelve others bickered, their voices growing sharper and more desperate with every word.


“He’s killing us one by one!” a voice snarled. “The Weaver, the Handler, the Stalker—all gone! And you tell us to stay calm?”


“Calm is the only thing that will keep us alive,” the Smeller replied, their voice measured. “Panic feeds him. It’s his weapon, and you are all giving him exactly what he wants.”


“What he wants,” another hissed, “is to see us dead. And unless you have a solution, Smeller, that’s exactly what will happen.”


From the far end of the room, the Watcher stepped into the light. Unlike the rest of the Council, the Watcher bore no ceremonial mask. Their face was obscured only by a featureless, polished steel mask, reflecting the room like a distorted mirror.


“Perhaps the problem isn’t the rogue,” the Watcher said, their voice calm yet biting. “Perhaps the problem is you, Smeller.”


Before anyone could react, the Watcher moved. A gleaming blade appeared in their hand, seemingly conjured from the air itself. They were a blur of motion, a shadow given form, as they closed the distance between themselves and the Smeller.


The Smeller raised an arm to block, but the blade sliced through flesh and bone with surgical precision. Blood sprayed across the table as the Smeller’s hand fell to the floor, twitching like a dying insect.


The Council erupted in chaos, several members rising from their seats, but the Watcher’s focus never wavered. They drove the blade into the Smeller’s chest, twisting it with a sickening crunch.


“You’ve clung to power for too long,” the Watcher whispered.


The Smeller gasped, blood bubbling from their lips as they fell to their knees. But the Watcher wasn’t finished.


With a feral strength that belied their calm demeanor, the Watcher slammed the Smeller’s head onto the table. They produced a second blade, smaller but no less deadly, and began to carve into the Smeller’s face.


The room was filled with the wet, sickening sound of flesh tearing and bone cracking. Blood pooled on the table, dripping onto the floor in a steady rhythm. When the Watcher finally stepped back, the Smeller’s mask was gone, replaced by a grotesque mosaic of blood and exposed muscle.


But it wasn’t enough.


The Watcher grabbed a ceremonial scepter from the table—a heavy, gold-encrusted relic—and brought it down on the Smeller’s skull. Again. And again. The sound of bone shattering echoed through the chamber until there was nothing left of the Smeller’s head but a pulpy ruin.


The Council members watched in stunned silence, too horrified to move.


***

Thursday, December 19, 2024

Chapter 3 : Dance of Predators

Posted by altaf alzam On 1:12 AM

 

***

By the sixth day, the air itself seemed alive, pressing against his skin like the breath of an unseen specter. The Eliminator—his replacement—was near. He could feel it, an ominous weight in the atmosphere, the kind of tension that crackles just before the lightning strikes.


The warehouse was a mausoleum of rust and decay, a fitting battleground for a man who had spent his life wading through the entrails of others. He sat on a crate in the center of the room, sipping whiskey from a chipped glass, surrounded by an arsenal of death. His tools were laid out with the precision of an artist preparing their palette: a serrated blade sharpened to surgical exactness, a steel cable thin enough to garrote without leaving a mark, a vial of acid that hissed against the glass, eager to devour.


The traps were set—ingenious creations of malice and ingenuity. A pressure plate beneath a loose floorboard was rigged to release a spray of industrial-grade acid. A tripwire, nearly invisible in the dim light, was connected to a spring-loaded mechanism armed with sharpened stakes. But the pièce de résistance was the rusted chain suspended from the ceiling, its hook sharpened to a deadly point. If the Eliminator triggered the right lever, the chain would swing down like a pendulum, impaling its target and hoisting them into the air, leaving them to dangle like a grotesque marionette.


He had no illusions about the effectiveness of these devices. They weren’t meant to kill the Eliminator—they were distractions, meant to buy him time and test his opponent’s limits.


At precisely 12:04 a.m., the game began.


The first sound was a creak, faint but deliberate, from the far end of the warehouse. He didn’t move. His breathing was controlled, his pulse steady. He had lived for moments like this, where every second stretched into an eternity.


The second sound was a whisper of fabric brushing against metal. The Eliminator was here.


The shadow struck without warning, a blur of motion slicing through the darkness. He barely deflected the blade, sparks showering as steel met steel. The force of the blow sent vibrations up his arm, but he didn’t falter. He countered with a slash aimed for the neck, but the Eliminator twisted away, their movements inhumanly fluid.


The fight was a symphony of violence, brutal and precise. They moved through the labyrinth of machinery and traps, their footsteps silent, their strikes calculated. He parried a blow aimed at his throat and retaliated with a lunge that grazed his opponent’s side. Blood sprayed in an arc, dark and slick, but the Eliminator didn’t slow.


A tripwire snapped, releasing a torrent of acid. The Eliminator moved with impossible speed, evading most of the spray. A few drops landed on their arm, sizzling through fabric and flesh. The smell of burning meat filled the air, but they didn’t make a sound.


He retreated deeper into the maze, leading them toward the next trap. As they rounded a corner, their foot pressed down on the pressure plate. A spring-loaded mechanism launched a cluster of barbed spikes, two of which embedded themselves in the Eliminator’s thigh. Blood oozed from the wounds, pooling on the floor.


But they didn’t stop.


As the Eliminator closed the distance, he reached for the steel cable hidden in the shadows. With a swift motion, he looped it around their neck and pulled tight. The wire cut into flesh, drawing blood, but they didn’t panic. Instead, they reached up, fingers clawing at the wire, and managed to loosen it just enough to breathe.


They countered with a brutal slash, their blade carving into his side. The pain was blinding, a white-hot lance that threatened to drop him to his knees. He stumbled back, blood dripping onto the floor, his vision swimming.


And then the Eliminator triggered the chain trap.


The rusted hook swung down, catching them in the shoulder and impaling them with a sickening crunch. The force of the swing lifted them off their feet, and they dangled in the air, blood pouring from the gaping wound.


For a moment, he thought he had won.


But then, with an inhuman snarl, they reached up and yanked the hook free from their flesh. The sound was wet and visceral, a mixture of tearing muscle and splintering bone. They dropped to the ground, unsteady but still standing.


But survival was a skill he had honed to perfection.


Rolling away, he staggered to his feet, blood streaming from his wounds. He could barely stand, but he wasn’t finished. He grabbed a nearby wrench and swung it with everything he had, catching the Eliminator in the jaw. Their head snapped back, and they collapsed onto the ground, dazed.


He didn’t wait to see if they would get up again.


With the last reserves of his strength, he limped toward the exit. His traps were spent, his body battered, but he was still alive. That was enough. But He knew then that this fight wouldn’t end with one of them walking away. It would end in carnage.


***


Far away, the Council of Ra watched from their hidden chambers. The hunt was more than a punishment—it was a test, a ritual. They whispered among themselves, placing bets on who would emerge victorious.


But deep down, they knew the truth. The Eliminator wasn’t sent to kill. They were sent to see how far a man could go before he broke.


And he wasn’t broken yet.


“He escaped,” one of them said, their voice laced with unease.


“He was never meant to survive,” another muttered.


The Smeller, seated at the far end of the table, remained silent. Their hood obscured their face, but their posture betrayed tension. “Perhaps the problem isn’t his survival,” the Smeller said finally. “Perhaps the problem is what he might become.”


The room fell silent.


“He knows too much,” another Council member said, their voice barely above a whisper.


“Then we’ll send someone else,” said another.


The Smeller shook their head. “You misunderstand. This isn’t about sending another. It’s about what happens when prey decides it’s tired of running.”


For the first time, the Council of Ra felt something they hadn’t experienced in years. Fear.


***


Projek Resonova

Posted by usoPkuChai On 12:41 AM

 

“Itu melanggar nilai moral dan etika kemanusiaan!” bentak Rashid, seolah-olah kalimat itu cukup untuk menghentikan waktu.

 

Zainab memang sudah mengagak Rashid tidak akan pernah bersetuju dengan apa saja pendapatnya. Sejak dari awal pernikahan mereka, yang diatur oleh keluarga untuk menjaga salasilah keturunan, Rashid bukanlah seperti yang dia sangkakan diawal perkenalan. Jauh dari romantis, malah sangat kasar dan tidak pernah mahu mengalah untuk apa pun. Bukan tidak pernah dia rasa mahu menghentak muka suaminya dengan gelas minuman, menikam lehernya dengan garfu atau mengorek biji mata suaminya dengan sudu. Semua kemahuan itu sudah lama bermain di fikirannya tapi untuk sekali ini Zainab mahu Rashid menghormati pendapatnya - biar apa pun terjadi.

 

“Jika itu dapat menciptakan manusia yang lebih baik dan menjadikan kehidupan masyarakat lebih sempurna, tidakkah itu satu kebaikan yang besar?” Zainab cuba merasionalkan pendapatnya.

 

“ Tapi siapa kita untuk menentukan kehidupan seorang manusia lain? Manipulasi ini harus dihentikan. Kita tidak boleh menjadi Tuhan!” 

 

Zainab mencemik Rashid yang bercakap tentang nilai dan etika sedangkan perangai dia sendiri jauh dari perkataan yang disebutnya. Namun Zainab tahu betapa ayat itulah yang akan mensyahmat segala senarai hujah untuk dia mempertahankan eksperimen yang sudah ditekuninya sejak 10 tahun dulu. Itu jugalah ayat yang diulang-ulang oleh Rashid setiap kali perbalahan dibangkitkan.

 

Bukan Rashid saja yang tidak bersetuju dengan projek Resonova, sebuah program replika genetik yang diterajuinya setelah bertahun dia memujuk dan melobi ayah mertuanya, yang juga merupakan penguasa negara yang kata-katanya merupakan keputusan arahan dan undang-undang, malahan hampir semua daripada ketua-ketua puak dan ketua-ketua agama juga membantah program tersebut. Ayah mertuanya hampir saja membatalkan program tersebut hingga dia terpaksa meneruskan eksperimennya dalam bayangan eksperimen untuk mencipta klon benih tumbuhan yang berupaya memberi hasil yang lebih baik dan tahan terhadap iklim yang melampau di negaranya.

 

Pembangunan program rahsianya sudah mencapai tahap kemuncak. Sejak beberapa tahun lalu pasukannya telah berjaya mengembangkan ujikaji mereka kepada haiwan dan malahan juga manusia. Kerana itu dia mulai membuka semula polemik mengenainya pada khalayak awam. Bukan suatu yang mudah tapi dia tahu beberapa organisasi sudah mulai menerima ideanya dan mula mempromosi serta melobi altar kekuasaan.

 

“Hujah menolak program ini hanya menumpukan pada aspek idealistik mengenai konsep kebebasan sebagai manusia, dan mengetepikan realiti kemampuan praktikal program ini sendiri. Replika genetik tidak mempengaruhi keseragaman psikologi. Klon masih berupaya mempunyai pemikiran dan perasaan tersendiri,” Zainab teringat penjelasan salah seorang pakar dalam pasukannya ketika ditemuramah di salah satu saluran audiosiar terkemuka.

 

 “Manusia bukan komoditi yang boleh sesuka hati dicipta dan dijual beli. Jadi kalau seorang bapa tidak menyukai anaknya, dia boleh mencipta anak yang baru? Yang lebih baik? Begitu?” Rashid meneruskan leterannya.

 

“Isteri juga boleh menggantikan suaminya yang menjengkelkan,” gumam Zainab kegeraman sambil bersandar berpeluk tubuh.

 

“Apa kau sudah gila Zainab? Hari ini kau tunjukkan pada aku klon seekor unta, esok apa lagi? Kau mahu klon aku pula?”

 

“Sudah semestinya Rashid. Kau suami yang tidak berguna. Kau hanya lintah tidak sedar diri yang menghisap hidup atas kekayaan ayahmu, tak pernah menghasilkan apa pun selain cakap besar dan impian kosong.,” bisik Zainab dalam hatinya.

 

“Aku sendiri akan minta ayah hentikan projek gila kau ini!” Rashid mahu bangun dari sofa kulit mewah yang dijahit khusus untuknya dan menuju ke pintu sebelum Zainab memegang bahunya menahan untuk terus duduk.

 

“Jangan cepat sangat marah sayang. Kita kan hanya bersembang,” Zainab memeluk Rashid memujuk agar suaminya itu tenang. Selepas itu hanya terdengar dengusan suara Rashid menahan kesakitan akibat tusukan belati dilehernya. 

 

“Hantar pasukan Echo ke ruangan kerjaku. Potong memori 5 jam terakhir dan hantarkan penggantinya ke kamar tidur,” Zainab memberi arahan dengan tegas sambil membalut leher Rashid dengan selendangnya supaya tidak mengotori sofanya.


Saat tubuh Rashid mulai dingin, Zainab meluruskan punggungnya. Ia melihat ke cermin besar di ruangan itu, menatap refleksinya yang tetap anggun dan tenang, lalu mengangguk kecil kepada dirinya sendiri.


Di dunia yang dipenuhi oleh manipulasi, pengkhianatan, dan kekuasaan, Zainab tahu satu hal pasti: tidak ada seorang pun yang lebih tepat untuk menjadi Tuhan selain dirinya.