Hujan membadai, membenturkan diri ke jendela loteng dengan penuh emosi. Setiap titisnya umpama irama gendang kecil yang tidak berhenti-henti memalu kaca tingkap. Partikel debu menari dalam jalur cahaya bulan yang menembus kegelapan, menerangi sarang labah-labah yang terjumbai di antara perabutan yang diterlupakan - almari lama, kenangan yang memudar, dan bayangan masa lalu yang tertinggal.
Gigil tubuhku - lebih dari sekadar dingin - merayap ke saraf tunjangku. Bukan kerana cuaca, bukan itu penyebabnya. Ada rasa gementar datang dari kesunyian, sebuah entiti hidup, yang berdenyut dalam frekuensi rendah yang sangat mengganggu. Udara menjadi semakin sesak, pekat dengan bau busuk yang memualkan, dari sejarah yang telah dilupakan. Dan ada sesuatu yang lain - sesuatu yang kuno dan tidak terlihat.
Aku duduk di tepi peti tua itu, selimut kulitnya retak dan rapuh, bau debu pertualangannya menempel seolah lapisan kulit keduanya. Di dalamnya, barang-barang peninggalan atukku: barangan perak yang telah lusuh, jurnal kulit yang sudah usang, dan segugus batu aneh. Dia menyebutnya "delima angkasa", berkeras mengatakan bahawa batu-batu itu menyimpan esensi dari bintang yang jatuh - setiap batu menyimpan secebis nafas rahsia alam semesta.
Atukku — seorang pria yang hidup dalam bisikan dan bayangan — mengisi penuh masa kecilku dengan kisah-kisah keajaiban yang menakjubkan. Tentang pohon beringin yang berbisik, dengan mata yang memerhatikan segala rahsia. Tentang makhluk-makhluk yang bersembunyi dalam kegelapan, menunggu. Tentang rahsia yang tersirat di celahan realiti, rahsia yang aku diajarkan untuk melihatnya. Dia mahu aku melihat dunia ini bukan seperti yang tampak di mata, tetapi wujud hakikinya: sebuah kisah yang ditenun dengan benang-benang magis dan misteri, sebuah panggung tempat kuasa-kuasa ghaib memainkan drama runyam mereka.
Sudah setahun atuk meninggal, mewariskan kekosongan yang tidak pernah dapat diisi oleh sinar matahari yang mencerobohi lantai melalui jendela kaca. Villa ini, yang pernah menjadi santuari kehangatan dan canda tawa, kini terasa seperti pusara - sebuah monumen untuk kehidupan yang telah lenyap. Setiap derit lantai, setiap desiran daun yang menyapa jendela, mengirimkan getaran gelisah ke dalam diriku. Apakah itu angin? Atau sesuatu yang lain? Sesuatu yang sedang memerhatikan dari dalam kegelapan.?
Tiba-tiba, sebuah dengungan bernada rendah bergetar melintasi udara, seolah berasal dari sakaguru villa ini sendiri. Semakin bergema, semakin menekan, hingga terasa seperti denyutan jantung villa ini, denyut yang bukan milikku. Dan secepat ia datang, secepat itu pula ia hilang.
Perasaan curiga — gementar dan bimbang — menyelimuti diriku. Aku meraih jurnal itu, kulitnya yang dingin dan licin terasa di tanganku. Aku membukanya, dan sebuah kata tunggal, yang ditulis dengan tulisan tangan atukku yang elegan, mengunci pandanganku: "Waspadalah terhadap bisikan."
Udara semakin dingin, kesunyian semakin dalam. Bisikan itu. Ya, bisikan itu. Bisikan yang telah menghantui mimpiku sejak kematian atuk. Bisikan yang tampaknya berasal dari celah-celah realiti itu sendiri, berbisik tentang rahsia - rahsia yang seharusnya tidak kudengar. Rahsia yang memunculkankan kegerunan primer dalam diriku, ketakutan yang melampaui akal sihat, ketakutan yang berbicara tentang kejahatan kuno dan dewa-dewa yang terlupakan.
Kemudian, aku melihatnya.
Sebuah kilauan samar di sudut ruangan, bergerak—seperti seberkas cahaya yang merayap di lantai, semakin terang, dan semakin gamblang. Ruangan itu disinari dengan cahaya aneh yang mempesona. Dan dalam cahaya itu, aku melihatnya.
Atuk.
Matanya bercahaya dengan sinar yang tidak alami, menatapku dari sudut ruangan. Senyum dingin, mengulum rahsia, tergambar di bibirnya.
"Selamat datang," bisiknya, suaranya terasa berasal dari kedalaman bumi itu sendiri.
"Selamat datang… ke rahsia keluarga."
0 ulasan:
Post a Comment