Di bawah langit yang seolah
melupakan cahaya, Ysakarath berdiri seperti sebuah rahsia yang dikisahkan di
antara bisikan angin. Tanah ini tersembunyi dari dunia, terlindungi oleh
hutan-hutan lebat yang penuh dengan bayang-bayang dan pegunungan yang menjulang
seperti penjaga tanpa nama. Tetapi seperti semua rahsia, Ysakarath memiliki
harga yang harus dibayar oleh mereka yang berani mendekatinya.
Mortua dilahirkan di tanah ini,
seorang anak yang mewarisi kutukan dan berkat yang tidak diminta. Klan Umbra
Noctis adalah penari di tepian jurang, ahli dalam seni yang melangkahi
batas-batas dunia. Namun, di mata Gereja Sancti Bellatoris, mereka adalah penistaan
yang harus dihancurkan. Para ksatria Sol Niger, pemburu dengan semboyan "Lux
in Tenebris, Puritas in Sanguine", telah mengejar klan itu selama bergenerasi, hingga mereka menemukan perlindungan terakhir mereka, di jantung
Ysakarath.
Tetapi perlindungan adalah janji yang rapuh, dan fanatisme selalu menemukan jalannya.
Magnus Cruor, dengan mata yang menyala oleh keyakinan yang tak tergoyahkan, membawa Sol Niger ke gerbang Ysakarath. Mereka menyerbu seperti badai yang dilepaskan, membawa api dan kehancuran. Desa-desa yang sunyi berubah menjadi lautan jeritan. Rumah-rumah hancur dalam kobaran api, dan penduduk yang tak bersalah dijadikan persembahan kepada keimanan mereka.
Mortua dan Lysara Kaelith, dua
jiwa yang berpegangan pada satu sama lain di tengah kehancuran, berlari di
antara bayang-bayang. Di sekitar mereka, dunia yang mereka kenal sudah runtuh.
“Mortua,” kata Lysara, suaranya
seperti embun yang membeku, “kita tidak akan selamat.”
“Kita akan bertahan,” jawab
Mortua, meskipun ia tahu kata-katanya kosong. “Aku akan melindungimu, apa pun
yang terjadi.”
Namun, janji-janji seperti itu
adalah ilusi dalam dunia yang dibakar oleh api.
Di pinggir desa, mereka menemukan
perlindungan dalam gua kuno yang dindingnya dipenuhi ukiran yang terasa lebih
tua daripada waktu itu sendiri. Udara di dalam gua berat, penuh dengan bau
lumut dan sesuatu yang tak terlihat—seperti mata yang mengintai dari sudut
kegelapan. Mortua terbaring lemah, napasnya dangkal, dan darah mengalir dari
luka-lukanya.
Lysara tahu dia akan kehilangannya.
Tetapi di tangannya, ia memegang kitab kuno yang dicuri dari klan mereka
bertahun-tahun lalu, Altra Nos—ritual necromansi yang dijelaskan dengan
bahasa yang seolah-olah hidup dan berbisik saat dibaca.
“Jangan lakukan ini,” bisik
Mortua, matanya mencari mata Lysara. “Kegelapan ini... bukan milik kita.”
“Tetapi hidupmu adalah milikku,”
jawab Lysara, air mata mengalir di wajahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu
pergi.”
Lingkaran darah dilukis di lantai
gua, bersinar dengan cahaya yang tampaknya bernafas. Ketika Lysara dengan jubah
hitamnya yang berkibar di tengah angin malam, berdiri di tengah lingkaran sihir
yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno, melafazkan mantra, dinding-dinding gua
bergetar, dan bayangan mulai bergerak, bukan karena lilin-lilin yang menyala
dengan api biru memancarkan cahaya yang menyeramkan, tetapi karena sesuatu yang
lain. Udara dipenuhi suara-suara—bisikan, tangisan, dan tawa samar yang
mengacaukan fikiran. Lysara terus mengucapkan mantera dengan suara yang
penuh kekuatan, memanggil roh-roh dari dunia lain untuk menghidupkan kembali
Mortua.
Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ketika Lysara mengucapkan kata-kata terakhir dari manteranya, angin kencang tiba-tiba berhembus, memadamkan lilin-lilin dan mengacaukan lingkaran sihir. Roh-roh yang dipanggil oleh Lysara menjadi liar, menyerang segala sesuatu di sekeliling mereka. Lysara, yang terkejut dan tidak bersedia, kehilangan kendali atas ritual itu. Tubuh Mortua terangkat di udara, dan ketika mantera terhenti, lingkaran berubah. Cahaya merah menjadi hitam, dan bayangan kelam menelan semuanya.
Roh-roh yang marah merasuk ke
dalam tubuh Mortua, mengubahnya menjadi makhluk yang hanya berisi penderitaan. Mata
Mortua terbuka, tetapi tidak ada lagi manusia di dalamnya. Ritual itu telah
mengubahnya menjadi Mortua yang setengah hidup dan setengah mati—sebuah entiti yang diciptakan dari cinta dan keputusasaan.
Ketika Magnus Cruor dan pasukannya
menemukan Mortua, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar manusia.
Mortua telah menjadi Mortua Primus, penguasa kematian. Dari bayang-bayang,
Lysara juga bangkit, tubuhnya hidup dengan cara yang menentang alam. Di
belakang mereka, mayat-mayat klan Umbra Noctis mulai bergerak, membentuk
pasukan yang tidak akan mampu dihentikan.
Para ksatria Sol Niger menyerang,
tetapi setiap yang jatuh bangkit kembali sebagai sebahagian dari gerombolan
Mortua. Dunia mulai menyaksikan kejatuhannya sendiri. Desa-desa dan kota-kota
menyerah satu per satu, tertelan oleh gelombang mayat hidup yang terus
bertambah.
Di atas reruntuhan dunia yang
pernah dia cintai, Mortua Primus berdiri. Angin malam membawa suara bisikan
dari roh-roh yang hilang, dan langit di atasnya tampak seperti cermin retak. Ia
memandang cakrawala, matanya kosong, seperti lubang tanpa dasar yang menelan
semua harapan.
Di sisinya, Lysara, kini menjadi
bayang-bayang dirinya yang dulu, berdiri diam, tangannya memegang tangan
Mortua. Bersama-sama, mereka menjadi saksi abadi dari apa yang telah hilang.
“Inceptum finemque mundi,” gumam Mortua, suaranya seperti angin yang melewati gua kosong. Ia berjalan ke depan, setiap langkahnya adalah gema keheningan. Dunia telah berhenti bernyanyi, dan Mortua adalah nadanya yang terakhir.
0 ulasan:
Post a Comment