Wednesday, January 1, 2025

Mortua : Inceptum

Posted by usoPkuChai On 8:33 AM No comments




Di bawah langit yang seolah melupakan cahaya, Ysakarath berdiri seperti sebuah rahsia yang dikisahkan di antara bisikan angin. Tanah ini tersembunyi dari dunia, terlindungi oleh hutan-hutan lebat yang penuh dengan bayang-bayang dan pegunungan yang menjulang seperti penjaga tanpa nama. Tetapi seperti semua rahsia, Ysakarath memiliki harga yang harus dibayar oleh mereka yang berani mendekatinya.

 

Mortua dilahirkan di tanah ini, seorang anak yang mewarisi kutukan dan berkat yang tidak diminta. Klan Umbra Noctis adalah penari di tepian jurang, ahli dalam seni yang melangkahi batas-batas dunia. Namun, di mata Gereja Sancti Bellatoris, mereka adalah penistaan yang harus dihancurkan. Para ksatria Sol Niger, pemburu dengan semboyan "Lux in Tenebris, Puritas in Sanguine", telah mengejar klan itu selama bergenerasi, hingga mereka menemukan perlindungan terakhir mereka, di jantung Ysakarath.

 

Tetapi perlindungan adalah janji yang rapuh, dan fanatisme selalu menemukan jalannya. 


Magnus Cruor, dengan mata yang menyala oleh keyakinan yang tak tergoyahkan, membawa Sol Niger ke gerbang Ysakarath. Mereka menyerbu seperti badai yang dilepaskan, membawa api dan kehancuran. Desa-desa yang sunyi berubah menjadi lautan jeritan. Rumah-rumah hancur dalam kobaran api, dan penduduk yang tak bersalah dijadikan persembahan kepada keimanan mereka.

 

Mortua dan Lysara Kaelith, dua jiwa yang berpegangan pada satu sama lain di tengah kehancuran, berlari di antara bayang-bayang. Di sekitar mereka, dunia yang mereka kenal sudah runtuh.

 

“Mortua,” kata Lysara, suaranya seperti embun yang membeku, “kita tidak akan selamat.”

 

“Kita akan bertahan,” jawab Mortua, meskipun ia tahu kata-katanya kosong. “Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi.”

 

Namun, janji-janji seperti itu adalah ilusi dalam dunia yang dibakar oleh api.

 

Di pinggir desa, mereka menemukan perlindungan dalam gua kuno yang dindingnya dipenuhi ukiran yang terasa lebih tua daripada waktu itu sendiri. Udara di dalam gua berat, penuh dengan bau lumut dan sesuatu yang tak terlihat—seperti mata yang mengintai dari sudut kegelapan. Mortua terbaring lemah, napasnya dangkal, dan darah mengalir dari luka-lukanya.

 

Lysara tahu dia akan kehilangannya. Tetapi di tangannya, ia memegang kitab kuno yang dicuri dari klan mereka bertahun-tahun lalu, Altra Nos—ritual necromansi yang dijelaskan dengan bahasa yang seolah-olah hidup dan berbisik saat dibaca.

 

“Jangan lakukan ini,” bisik Mortua, matanya mencari mata Lysara. “Kegelapan ini... bukan milik kita.”

 

“Tetapi hidupmu adalah milikku,” jawab Lysara, air mata mengalir di wajahnya. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

 

Lingkaran darah dilukis di lantai gua, bersinar dengan cahaya yang tampaknya bernafas. Ketika Lysara dengan jubah hitamnya yang berkibar di tengah angin malam, berdiri di tengah lingkaran sihir yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno, melafazkan mantra, dinding-dinding gua bergetar, dan bayangan mulai bergerak, bukan karena lilin-lilin yang menyala dengan api biru memancarkan cahaya yang menyeramkan, tetapi karena sesuatu yang lain. Udara dipenuhi suara-suara—bisikan, tangisan, dan tawa samar yang mengacaukan fikiran. Lysara terus mengucapkan mantera dengan suara yang penuh kekuatan, memanggil roh-roh dari dunia lain untuk menghidupkan kembali Mortua.

 

Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ketika Lysara mengucapkan kata-kata terakhir dari manteranya, angin kencang tiba-tiba berhembus, memadamkan lilin-lilin dan mengacaukan lingkaran sihir. Roh-roh yang dipanggil oleh Lysara menjadi liar, menyerang segala sesuatu di sekeliling mereka. Lysara, yang terkejut dan tidak bersedia, kehilangan kendali atas ritual itu. Tubuh Mortua terangkat di udara, dan ketika mantera terhenti, lingkaran berubah. Cahaya merah menjadi hitam, dan bayangan kelam menelan semuanya.

 

Roh-roh yang marah merasuk ke dalam tubuh Mortua, mengubahnya menjadi makhluk yang hanya berisi penderitaan. Mata Mortua terbuka, tetapi tidak ada lagi manusia di dalamnya. Ritual itu telah mengubahnya menjadi Mortua yang setengah hidup dan setengah mati—sebuah entiti yang diciptakan dari cinta dan keputusasaan.

 

Ketika Magnus Cruor dan pasukannya menemukan Mortua, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar manusia. Mortua telah menjadi Mortua Primus, penguasa kematian. Dari bayang-bayang, Lysara juga bangkit, tubuhnya hidup dengan cara yang menentang alam. Di belakang mereka, mayat-mayat klan Umbra Noctis mulai bergerak, membentuk pasukan yang tidak akan mampu dihentikan.

 

Para ksatria Sol Niger menyerang, tetapi setiap yang jatuh bangkit kembali sebagai sebahagian dari gerombolan Mortua. Dunia mulai menyaksikan kejatuhannya sendiri. Desa-desa dan kota-kota menyerah satu per satu, tertelan oleh gelombang mayat hidup yang terus bertambah.

 

Di atas reruntuhan dunia yang pernah dia cintai, Mortua Primus berdiri. Angin malam membawa suara bisikan dari roh-roh yang hilang, dan langit di atasnya tampak seperti cermin retak. Ia memandang cakrawala, matanya kosong, seperti lubang tanpa dasar yang menelan semua harapan.

 

Di sisinya, Lysara, kini menjadi bayang-bayang dirinya yang dulu, berdiri diam, tangannya memegang tangan Mortua. Bersama-sama, mereka menjadi saksi abadi dari apa yang telah hilang.

 

Inceptum finemque mundi,” gumam Mortua, suaranya seperti angin yang melewati gua kosong. Ia berjalan ke depan, setiap langkahnya adalah gema keheningan. Dunia telah berhenti bernyanyi, dan Mortua adalah nadanya yang terakhir.


0 ulasan: