Wednesday, January 1, 2025

Kisah Aneh di Kaki Pelangi

Posted by usoPkuChai On 11:39 PM No comments


 

Setiap kali hujan reda di Desa Langit Senja, pelangi besar melengkung di atas sawah padi, memancar terang seperti jambatan ke langit. Penduduk desa percaya, di kaki pelangi itu terdapat makhluk halus yang menjaga harta karun tersembunyi. Namun, tidak ada sesiapa yang berani mendekatinya. "Itu bukan urusan kita," kata mereka sambil menyeka peluh di dahi. "Cukup kita nikmati keindahannya dari jauh."

Namun, bagi Nisa, anak yatim yang tinggal di hujung desa, pelangi itu lebih daripada sekadar keajaiban alam. Ia adalah misteri yang menunggu untuk disingkap. Pada ulang tahun ke-12nya, ketika pelangi muncul lagi, Nisa memutuskan untuk mengikut naluri ingin tahunya. Dia mengikat sapu tangan merah ke rambutnya, membawa sebilah pisau kecil, dan berjalan menuju ke arah kaki pelangi.

Jalan ke sana penuh dengan duri dan lumpur. Pelangi seolah-olah bermain dengan Nisa, bergeser setiap kali dia hampir sampai. Tetapi dia tidak menyerah. Dengan kaki penuh lecet, akhirnya dia sampai di tempat di mana warna-warna pelangi mendarat di bumi. Yang dia temui adalah sesuatu yang tidak dijangka.

Di bawah cahaya pelangi itu, berdiri sebuah pondok kayu kecil yang hampir tenggelam oleh pokok-pokok merimbun. Pintu pondok itu terbuat daripada kayu cengal yang berkilau seperti perak. Di hadapannya duduk seorang lelaki tua berjanggut putih, mengenakan jubah lusuh yang warnanya berubah-ubah seperti pelangi itu sendiri.

"Sudah lama aku menunggu," kata lelaki itu, suaranya lemah tetapi jelas.

"Menunggu siapa?" tanya Nisa, kebingungan tetapi tidak takut.

"Menunggu sesiapa yang cukup berani untuk mencari kaki pelangi," jawab lelaki itu sambil tersenyum. "Masuklah, aku ada sesuatu untukmu."

Nisa ragu-ragu, tetapi rasa ingin tahu menguasainya. Dia melangkah masuk ke dalam pondok, dan matanya terbeliak. Pondok itu jauh lebih besar di dalam. Rak-rak kayu tinggi memenuhi dinding, sarat dengan balang kaca berisi benda-benda aneh: bulu burung berwarna emas, kristal berkilau, dan kelopak bunga yang seolah-olah masih segar walaupun terkurung dalam kaca.

Di tengah-tengah pondok, sebuah meja besar menampung sebuah cermin bundar. Permukaannya tidak memantulkan apa-apa, tetapi seakan-akan dipenuhi kabus yang bergerak perlahan.

"Ini hadiah untukmu," kata lelaki tua itu sambil menunjuk ke arah cermin.

"Cermin ini?" Nisa bertanya. "Apa gunanya?"

"Ia adalah cermin yang akan menunjukkan jalan," jawab lelaki itu. "Tetapi hanya jika kau tahu ke mana kau mahu pergi."

Nisa mengerutkan dahi. "Aku tidak faham."

Lelaki tua itu hanya tersenyum. "Cermin ini tidak menunjukkan apa yang kau mahu, tetapi apa yang kau perlu."

Ketika Nisa menyentuh cermin itu, kabus di permukaannya berputar lebih cepat. Seketika, dia melihat gambaran seseorang, tersenyum di bawah pohon besar di tepi sungai. Tetapi sungai itu tidak seperti mana-mana sungai yang pernah dia lihat. Airnya bersinar seperti perak, dan di atasnya melayang-layang daun emas.

"Di mana ini?" tanya Nisa, suara bergetar.

"Itu adalah Sungai Kenangan," kata lelaki tua itu. "Hanya mereka yang berani melupakan ketakutan dan mengejar kebenaran akan sampai ke sana. Kau akan menemui jawapan tentang siapa dirimu di tempat itu."

Sebelum Nisa sempat bertanya lebih lanjut, lelaki tua itu hilang, bersama pondok dan cermin. Dia mendapati dirinya kembali di tengah sawah, tetapi sesuatu telah berubah. Di tangannya ada sebuah daun emas, seperti yang dilihat dalam cermin. Pelangi di atasnya semakin pudar, tetapi Nisa kini tahu ke mana dia harus pergi.

Dia akan mencari Sungai Kenangan, walau apa pun rintangannya. Di sanalah, dia yakin, semua persoalan tentang dirinya dan masa lalunya akan terjawab.

Dan mungkin, akhirnya, dia akan menemui keajaiban yang lebih besar daripada pelangi itu sendiri.


---------------------------


Malam itu, Nisa duduk di tepi pelita di rumahnya yang kecil, memegang daun emas dengan penuh hati-hati. Dia memutuskan untuk memulakan perjalanan keesokan harinya. Namun, sepanjang malam, dia tidak dapat tidur. Dalam gelap, suara-suara lembut bergema di telinganya, seperti angin yang berbisik.

"Berhati-hati, Nisa," kata suara itu. "Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan jawapan, tetapi juga tentang melepaskan apa yang kau sayangi."

Pagi berikutnya, Nisa bersiap-siap dengan bekal yang sederhana: beberapa ketul nasi, sedikit air, dan sapu tangan merahnya. Dia berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gambaran dalam cermin. Langit pagi itu berwarna kelabu, dan angin dingin menyelimuti tubuhnya.

Perjalanannya membawanya melalui hutan tebal yang tidak pernah dia lalui sebelumnya. Di dalam hutan itu, dia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh: seekor burung yang bulunya bercahaya seperti api, rusa yang matanya seperti kristal, dan ular berwarna perak yang berbicara dalam bahasa yang tidak dia fahami. Tetapi makhluk-makhluk ini tidak mengganggunya. Sebaliknya, mereka hanya memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ketika malam tiba, Nisa mendapati dirinya di tepi sungai kecil. Air sungai itu dingin dan jernih, memantulkan cahaya bulan yang pucat. Dia merasa letih, tetapi hatinya dipenuhi harapan. Ketika dia membasuh wajahnya di sungai itu, bayangan ibunya muncul di permukaan air.

"Nisa," suara ibunya berkata, lembut seperti pelukan. "Jangan takut. Semua jawapan yang kau cari ada di hadapanmu. Tetapi ingat, kebenaran tidak selalu seperti yang kau harapkan."

Air mata mengalir di pipi Nisa. "Ibu, tunggu! Jangan pergi lagi!"

Bayangan itu lenyap, tetapi sungai di hadapannya mulai berubah. Airnya memancarkan cahaya, dan perlahan-lahan, ia mengalir ke arah yang tidak semula jadi, seperti membawa Nisa ke tempat yang telah lama tersembunyi. Dengan keberanian yang diperolehnya, Nisa mengikuti sungai itu, melangkah ke dalam dunia yang penuh keajaiban dan misteri.

Setiap langkah membawa dia lebih dekat kepada Sungai Kenangan, tetapi juga kepada ujian yang akan menguji hatinya. Di hujung perjalanan ini, Nisa tahu, ada sesuatu yang lebih besar daripada jawapan tentang dirinya. Ada takdir yang menantinya.


-----------------------------------------------


Di sepanjang sungai yang bercahaya, Nisa mula menyedari bahawa dia tidak sendiri. Bayangan samar-samar muncul di permukaan air, mengintainya dengan penuh perhatian. Ketika dia melangkah lebih jauh, suara angin berbisik menjadi lebih jelas, membawa pesan-pesan samar yang membuat bulu romanya meremang.


Nisa melanjutkan perjalanan, tetapi perasaan kehilangan menghantuinya. "Apakah aku sudah membuat keputusan yang betul?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Kemudian, dia tiba di sebuah dataran luas yang ditutupi oleh kabus tebal. Di sana, suara-suara berbisik mulai berubah menjadi gema kuat, seperti ratusan orang bercakap serentak. Dari kabus itu, muncul bayangan dirinya—tetapi lebih tua, lebih letih, dan matanya penuh kesedihan.

"Siapa kau?" tanya Nisa dengan suara serak.

"Aku adalah dirimu, jika kau memilih jalan tanpa keberanian," jawab bayangan itu. "Setiap keraguan, setiap ketakutan yang kau simpan, akan mengubahmu menjadi aku. Jika kau ingin bebas, lepaskan rasa takutmu dan teruskan perjalananmu dengan hati yang teguh."


Nisa menutup matanya, mengingat kembali senyuman ibunya dan suara tenang lelaki tua di pondok kaki pelangi. "Aku telah memulakan perjalanan ini bukan untuk berpatah balik," bisiknya. Dengan keberanian yang timbul semula, dia melangkah ke depan, melewati bayangan dirinya. Bayangan itu memudar, bersama gema yang memenuhi kabus.

Di hadapan, kabus mulai tersingkap, memperlihatkan sebuah jambatan batu yang melintasi Sungai Kenangan. Air sungai itu kini bersinar dengan intensiti yang menyilaukan, seolah-olah menyimpan ribuan bintang. Di seberang jambatan, sebuah pohon raksasa menjulang, daun-daunnya berkilauan seperti zamrud. Di bawah pohon itu berdiri seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya samar namun penuh kehangatan.

"Nisa," panggil wanita itu. Suaranya mengalir lembut seperti sungai, menyentuh jiwa Nisa.

"Siapa kau?" tanya Nisa sambil melangkah ke arah jambatan.

"Aku adalah penjaga jawapan yang kau cari. Tetapi untuk melangkah lebih dekat, kau harus melewati jambatan ini. Hanya mereka yang telah melepaskan beban hati dapat menyeberang."

Nisa memandang ke bawah, ke dalam air sungai yang memantulkan kenangan masa lalunya. Dia melihat dirinya yang kecil, bermain di bawah pohon bersama ibunya; malam-malam penuh air mata sejak kehilangan ibunya; dan saat-saat dia merasa terpinggir di desa. Semua beban, rasa takut, dan kesepiannya terasa seperti batu besar di dadanya.

"Apa yang perlu aku lakukan?" tanya Nisa, suaranya hampir patah.

"Lepaskan," jawab wanita itu. "Ampunkan dirimu sendiri dan mereka yang telah menyakitimu. Perjalanan ini bukan tentang apa yang kau temui, tetapi tentang siapa yang kau pilih untuk menjadi."

Nisa menghela nafas panjang. Perlahan-lahan, dia membiarkan kenangan-kenangan itu mengalir bersamanya. Air matanya tumpah, tetapi bersama air mata itu, dia merasakan beban yang selama ini menyesakkan mulai hilang. Dia memejamkan mata, dan ketika membukanya kembali, air sungai di bawahnya menjadi jernih.

Dia melangkah ke atas jambatan. Setiap langkah terasa ringan, seolah-olah dia telah meninggalkan semua beban di tepi sungai. Ketika dia tiba di seberang, wanita berpakaian putih menyambutnya dengan senyuman.

"Kau telah lulus ujian ini, Nisa," kata wanita itu. "Tetapi perjalananmu belum selesai. Pohon ini menyimpan kisah keluargamu, dan kebenaran yang kau cari. Namun, kebenaran itu adalah pedang bermata dua. Bersediakah kau menerimanya?"

Nisa mengangguk, meskipun hatinya berdegup kencang. Wanita itu menyentuh dahan pohon, dan daun-daunnya mulai bergetar. Dari celah dedaunan, muncullah gambaran tentang seorang wanita muda—ibunya. Nisa melihat ibunya berdiri di tempat yang sama, bertahun-tahun lalu, menghadap pohon itu sambil menggenggam daun emas yang sama seperti yang pernah dimilikinya.

Ibunya berbicara dengan pohon, suaranya tidak dapat didengar, tetapi air matanya mengalir deras. Pohon itu kemudian memberikannya sesuatu—sebuah kunci kecil yang bercahaya seperti cahaya bintang. Ketika gambaran itu memudar, wanita berpakaian putih itu menyerahkan kunci yang sama kepada Nisa.

"Kunci ini adalah jawapan kepada siapa dirimu dan tujuanmu," kata wanita itu. "Gunakanlah ia untuk membuka pintu masa depanmu, tetapi ingat, setiap kebenaran membawa tanggungjawab."

Nisa menerima kunci itu dengan tangan gemetar. Hatinya penuh dengan campuran rasa takut dan harapan. Dia belum tahu ke mana kunci itu akan membawanya, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa siap untuk menghadapi apa saja.

Di belakangnya, pohon dan jambatan perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh jalan setapak yang menuju ke ufuk baru. Langit kini dipenuhi dengan warna-warni seperti pelangi, dan angin membawa bisikan yang hangat.

Perjalanan Nisa belum berakhir, tetapi dia tahu, dia tidak lagi anak kecil yang takut kepada dunia. Dia adalah seorang penjelajah, seorang pencari kebenaran, dan seorang yang telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.


0 ulasan: